Inilah menu yang dapat kami sajikan. Semoga berkenan dan dapat memberikan informasi yang cukup berarti bagi Anda Terima kasih atas kunjungan Anda
 

  RASULULLAH SEBAGAI TELADAN
MEMBENTUK MASYARAKAT MADANI
 
 

“Sungguh telah ada dalam (kepribadian) Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) suri tauladan untukmu. (Yaitu) bagi orang yang mengharapkan (perjumpaan dengan) Allah dan hari akhir, dan mereka banyak berdzikir kepada Allah.“ (QS. 33;21).

 

“Sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul di antara kamu, yang membacakan kepada kamu sekalian ayat-ayat Kami, membersihkan kamu, mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), dan megajarkan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui. (QS. 2: 151).

 

Segala puji bagi-Mu ya Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa Engkau curahkan untuk Rasul-Mu, Suri tauladan kami tercinta, Muhammad, juga untuk keluarganya, para shahabat, generasi terbaik ummat ini, dan orang-orang yang setia kepadanya.

 

Masyarakat madani akhir-akhir ini muncul sebagai tokoh baru dalam diskursus pemikiran politik era reformasi khususnya dalam masyarakat Islam. Dalam terminologi politik Barat dikenal civil society sebagai istilah yang dimunculkan kembali dalam berbagai diskusi sosial politik baik di kalangan para sosiolog maupun politikus. Istilah ini selanjutnya sering menajdi terjemahan dari masyarakat madani. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai upaya melakukan diskusi sekitar istilah tersebut. Tetapi lebih mengetengahkan persoalan substansial masyarakat madani sebagaimana yang sering digambarkan oleh ummat Islam dan para pemikirnya. Serta acuan manakah yang mewakili bentuk yang paling ideal dari masyarakat ini.

 

Kata “masyarakat“ lebih dimunculkan dalam terminologi ini sebagai sumberdaya, inti dan kekuatan dasar terbentuknya sebuah negara dalam perspektif ummat Islam. Dimulai dari masyarakat terkecil yaitu keluarga sampai kepada yang terbesar dalam bentuk sebuah negara. Sementara kata “madani“ (tamaddun, madiinah dan madaniah) diambil dari bahasa arab yang dapat diartikan dengan beradab, kota atau peradaban. Dari kata dasar ini sejumlah pemikir politik Islam lebih cenderung menterjemahkannya dengan civilized society. Dan tidak dimaksudkan dengan civil sebagai lawan kata dari militer. Karena pada esensinya masyarakat madani tidak anti militer, melainkan bagaimana seluruh lapisan masyarakat terikat dan terlibat dalam membangun welfare atau kesejahteraan yang diikat oleh solidaritas sosial yang lebih mementingkan kepentingan bersama. Termasuk militer yang memiliki bagian tuga strategis dalam menjaga dan meninggkatkan stabilitas keamanan dan ketenangan masyarakat terutama dari bahaya eksternal. 

 
 

Analisa Masyarakat Madinah Sebagai Acuan Historis:

 

Ide dasar terbentuknya masyarakat madani seringkali digambarkan dengan masyarakat Madinah terutama di masa Rasulullah, shallallaahu alaihi wa sallam. Di samping karena kepemimpinan beliau diakui sebagai pemimpin terbaik sepanjang empat belas abad ini, juga karena warisan pemikiran dan pengalamannya yang tertulis dalam sejumlah litertur sejarah bangsa-bangsa besar dunia sebagai khazanah intelektual yang tetap aktual dan universal. Oleh karena itu esensi mempelajari sejarah tidaklah terfokus pada kronologi peristiwa yang terjadi pada suatu kurun waktu tertentu. Tetapi bertujuan untuk menangkap dan memformulasikan benang merah dan faktor-faktor universal kenapa suatu bangsa itu besar dan agung atau jatuh dan runtuh.

 

Dengan memahami pesan universal tersebut maka masyarakat atau bangsa yang hidup pada masa sesudahnya dapat menjadikannya sebagai prinsip-prinsip rekonstruktif. Hal ini sangat penting dalam membentuk self confidence bahwa mereka akan mampuh membangun kembali peradaban dalam bentuknya yang lebih aktual. ”Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang beriman.(QS. 11 Huud, 120).

 
 

Secara global, masyarakat madinah dibentuk dan dibangun dalam dua fase:

 

Pertama: fase Makkiyyah. Yaitu fase yang secara integral diorientasikan kepada terbentuknya SDM yang berkepribadian Islami. Proses fase ni berjalan dengan tahapan sebagai berikut:

 
  1. Pembangunan kompetensi intelektual. Bertitik tolak dari perubahan kondisi jahiliyyah kepada kondisi yang serba intelektual dengan visi dan misi yang jauh dan jelas menuju pencerahan masa depan.
  2. Pembentukan kompetensi spiritual. Ditindaklanjuti dengan proses pembentukan spiritualitas yang kokoh dengan kekuatan aqidah dan keyakinan yang objektif menuju terbentuknya kepercayaan diri yang kaya dengan ketulusan dan kejujuran. Dan
  3. Pembentukan kompetensi moral. Direfleksikan dalam bentuk moralitas yang indah dengan akhlaq yang terpuji dan mempesona.
 

Semua proses ini berjalan dalam bentuk yang lebih kultural sehingga terbentuk budaya dan prilaku islami termasuk dalam keluarga dan komunitasnya. Perangkat-perangkat sosio-kultural kehidupan bermasyarakat, seperti syura, juga telah menjadi kebiasaan mereka dalam memecahkan permasalahan sosial. Karena pendekatan ini lebih menitik beratkan kepada kesadaran di tingkat individual maka lebih memakan waktu yang lebih panjang kurang lebih tiga belas tahun. 

 

Ke dua: fase madaniyyah.Yaitu fase terbentuknya masyarakat dalam bentuk sebuah negara yang lebih beradab dan bersifat struktural dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

  1. Pembangunan Institusi. Struktur ini direfleksikan dengan pembangunan masjid sebagai sarana beribadah (hablum minallah) dan sekaligus sebagai sarana pendidikan (madrasah) dan interaksi sosio-kultural dan sosio-politik (hablum minannas).
  2. Ikatan konsolidasi. Struktur ini dilakukan dengan konsep mu´akhoh (mempersaudarakan) terhadap potensi ukhuwwah yang telah mereka miliki sebagai suatu kebiasaan hidup sehari-hari di tingkat kehidupan individu. Struktur ini juga berhasil mengatasi kemungkinan terjadinya kecemburuan sosio-ekonomik akibat kedatangan kaum muhajirin yang berpotensi menganggur karena tidak membawa bekal sedikitpun dari Makkah. Dan lebih jauh lagi ikatan ini menjadi kekuatan yang cukup besar dalam membangun masyarakat yang baru lahir dan tidak memiliki budget dalam membangun negara.
  3. Pembentukan konstitusi.Struktur ini dilakukan dengan disusunnya Piagam Madinah yang dalam sejarah perundang-undangan dunia dianggap sebagai “The first written constitution in the World”. Konsitusi Madinah dimaksudkan untuk mengikat komitmen sosial antara internal kaum musliman sendiri, seperti antara kaum muhajirin dan anshor, antara suku-suku anshor, dan antar kaum muslimin dan non muslim, seperti yahudi. Semua diliikat dan dilibatkan dengan hak dan kewajiban masing-masing yang jelas dan terjamin oleh negara.
  4. Pembangunan militer. Struktur ini diperlukan untuk memelihara dan mengamankan negara baik dalam misi defensif sebagai upaya menanggkal bahaya dan ancaman eksternal, maupun ofensif sebagai upaya membuka tirani kekuasaan dan militer yang menghalangi da`wah islamiyyah. Semua warga negara sipil saat itu dapat terlibat dan tampil sebagai prajurit militer dalam tanggung jawab membela negara dan mengantarkan da`wah tersebut. Tetapi ketika misi sudah selesai semua meletakkan senjata dan kembali menjadi masyarakat sipil yang terlibat dalam kesibukan sehari-hari. Mereka tidak pernah menjadi kelompok elit yang eksklusif dari masyarakatnya.
  5. Pembangunan hukum dan etika. Proses ini berjalan sepanjang sejarah madaniyyah selama kurang lebih sepuluh tahun. Pembangunan hukum dan etika diperlukan untuk menata masyarakat sehingga memiliki peradaban tertinggi dan mulia. Penataan hukum dan etika dalam seluruh bidang ini; ekonomi seperti riba, politik seperti kepemimpinan, syura dan kebijakan militer, sosial seperti pidana dan perdata, dilakukan secara gradual atau bertahap dengan memperhatiakan seluruh variabel dan kesiapan masyarakat.
 

Seluruh proses ini dilakukan dengan pendekatan struktural sehingga lebih cepat terlihat keberhasilannya. Karena seluruh elemen kehidupan dapat terwujud secara kongkrit dan terlindungi oleh kebijakan negara. Masyarakat dalam tatanan struktural seperti ini pada akhirnya dapat merasakan perlindungan, keamanan dan kesejahteraan yang lebih optimal. Namun demikian semua keberhasilan ini bertumpu pada terbentuknya SDM berkwalitas melalui proses pendekatan kultural seperti yang terjadi di masa Makkiyyah dan masih terus secara simultan tetap berlangsung pada fase Madaniyyah.

 
 

Eksistensi Generasi Qur’ani sebagai Substansi Masyarakat Madani:

 

Dari acuan historis di atas, tentunya muncul pertanyaan; substansi SDM apakah yang melatarbelakangi terbentuknya masyarakat madani di masa Rasulullah, shallallaahu alaihi wa sallam, tersebut. Para ulama Fiqhud Da`wah, melalui petualangan intelektualnya terhadap sejumlah ayat, hadits dan sejarah, berhasil merumuskan sebuah terminologi dan formulasi baru bagi sebuah generasi di masa itu. Yang selanjutnya mereka perkenalkan dengan istilah generasi qur`ani.

 

Generasi qur’ani adalah sebuah istilah yang masih kalah populer dengan istilah generasi, aktifis atau anak sosialis, kiri dan nasionalis atau ABG (Anak Baru Gede). Bahkan lebih jauh lagi makhluq baru ini sering diidentikkan dengan kelompok fundamentalis dengan ma’nanya yang sangat negatif dan terkesan eksklusif. Sebenarnya jika dilihat dan dianalisa secara obyektif, generasi qur’ani tidak lain kecuali suatu generasi yang mencintai kebaikan dan kebenaran sebagai jaminan hidup dengan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber dan acuannya. Karena mereka sadar bahwa ilmu manusia tidak akan lepas dari karakter kemanusiaanya sebagai makhluq yang serba terbatas ruang dan waktu, di mana dan kapan mereka berada. Sedangkan Allah Yang menurunkan kitab-Nya adalah The Supreme, Yang Maha dalam segalanya.

 

Kesadaran ini perlahan mengkristal menjadi paradigma berfikir seorang generasi qur’ani. Dengan statemen bahwa “Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu (Pencipta-Mu), maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu” (QS.2:147), mereka semakin yakin dengan seluruh informasi Allah yang kaya dengan janji dan rumusan hidup yang lebih pasti. Mereka puas dengan segala informasi-Nya yang inspiratif dan bervisi ke masa depan yang paling jauh, terutama kehidupan ukhrawi yang serba hakiki dan abadi. Al-qur’an dirasakan mereka sebagai sumber pengalaman hidup yang menjamin kekayaan hikmah (filosofi dan pengalaman hidup) yang teruji sepanjang sejarah manusia. Puncaknya mereka puas dengan garansi Allah:

 

“Maka ingatlah kamu sekalian (melalui interaksi kamu dengan al-Qur’an) kepada-Ku, niscara Aku mengingat-mu…”. (QS.2:152).

 

Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa al-Qur’an, sumber dan cara terbaik dalam berdzikir, adalah kitab yang bermuatan inspirasi yang aktual. Karena saat seseorang berinteraksi dengan al-Qur’an maka Allah selalu menyaksikan dan mngawasinyanya. Lebih jauh lagi para ulama menjadikan tilawah, tadabbur dan interaksi dengan al-Qur’an sebagai sarana untuk berdialog dan berkomunikasi dengan Allah, di samping sebagai aktifitas ‘ibadah. Berbeda dengan kajian buku dan sumber ilmu pengetahuan atau informasi lain, di mana si penulisnya tidak pernah mengetahui siapa pembacanya apalagi mengenai apa yang dipahaminya.

Inilah sekilas sosok generasi qur’ani yang tengah berusaha dan berbuat untuk mengekspresikan dirinya sebagai al-Qur’an yang hidup, dinamis dan berjalan di tengah manusia dan kehidupannya. Bukan sekedar al-Qur’an yang tersimpan rapi di atas meja atau lemari lux dan terkesan sebagai hiasan. Karena seperti yang dipesankan al-Qur’an bahwa “perumpamaan orang-orang yang dibebani membawa Taurat kemudian mereka tidak membawanya (dalam realita kehidupan) adalah seperti keledai yang membawa lembaran-lembaran (buku)…”(QS.62:5).

 
 
Mengapa Generasi Qur’ani:
 

Membentuk generasi (SDM) unggulan adalah alternatif yang harus dilakukan oleh setiap bangsa. Kelalaian terhadap sektor ini mengakibatkan stagnasi dan deviasi bangsa tersebut dalam proses pewarisan peradabannya. Bahkan ia terancam kehilangan eksistensinya di muka bumi. Demikian pula halnya dengan ummat ini. Lebih jauh lagi regenerasi qur`ani ini bukan sekedar untuk melestarikan muslim di muka bumi tetapi yang lebih penting menjaga dan melestarikan sistem hidup bagi manusia.   Oleh karena itu kehadiran Sumber Daya Manusia yang unggul  seperti ini merupakan tuntutan kelestarian hidup suatu bangsa.

 

Keunggulan SDM ditentukan oleh apa yang melekat dalam dirinya yang diekspresikan dalam kematangan dan kesempurnaan kepribadian. Dan kesempurnaan suatu acuan sebagai dasar pembentukan SDM sangatlah menentukan kesempurnaan tersebut. Di tengah pencarian acuan dan konsep pembentukan ini, al-Qur’an hadir sebagai acuan kongkrit yang menjanjikan kepuasan. Baik kepuasan intelektual, spiritual maupun moral. Keberadaan al-Qur’an telah teruji sepanjang sejarah diturunkannya. Bahkan dapat dipastikan setiap al-Qur’an menyentuh suatu bangsa, dari mulai Arab sampai Andalusia dan Indonesia, maka kehidupan bangsa itu menemukan eksistensinya yang esensial. Dan kapan al-Qur’an diabaikan atau ditinggalkan maka bangsa tersebut akan terpuruk jatuh sampai tidak mampuh menyelamatkan dirinya apalagi bangsa dan orang lain. Sekalipun nampak peradabannya demikian maju tetapi mereka kering nuansa jiwa dan spiritnya dalam hidup. Sehingga pada saat kepentingan fisiknya mengalami kegagalan maka saat itu pula mereka kehilangan kehidupan.

 

Pemikiran inilah yang diserap oleh generasi qur’ani. Mereka menemukan jawaban terhadap seluruh pertanyaan yang sering muncul di tengah kehidupannya saat berinteraksi dengan al-Qur’an. Dan di dalamnya mereka menemukan tiga keunggulan; kompetensi intelektual, kompetensi spiritual dan kompetensi moral sebagai kekuatan inti pembentukan jati diri SDM. Dengan demikian generasi qur’ani seperti ini adalah alternatif dan jawaban yang definitif bagi tuntunan Ummat dan kelestarian hidup manusia di bumi secara keseluruhan.      

 
Proses Pembentukan Generagi Qur’ani:
 

Al-Qur’an dengan miracle-nya memandu manusia dalam proses pembentukan generasi unggulan ini cukup dengan satu ayat. Lihat sistematika berikut: “Sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul di antara kamu, yang membacakan kepada kamu sekalian ayat-ayat Kami, membersihkan kamu, mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), dan megajarkan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui. “ (QS. 2: 151).

 

Ayat ini memformalisakan sistematika pembentukan manusia qur’ani dalam tiga tahapan dan proses yang dapat dilakukan secara simultan:

 

Pertama: Proses pembacaan (Penguasaan Informasi). Ini adalah langkah pertama proses pembelajaran. Tanpa deposito informasi, seseorang tidak mungkin dapat berfikir apalagi untuk menyimpulkan dan merumuskan sesuatu yang dihadapi dan dialaminya. Untuk itu “membacakan ayat-ayat” mengisyaratkan kepada penguasaan informasi yang sudah terumuskan. Ayat-ayat, baik qauliah (wahyu) maupun kauniah (sains), secara bahasa dapat diartikan dengan tanda-tanda, seperti nama yang merupakan tanda, rumusan dan identitas seseorang. Oleh karena itu penguasaan nama-nama: benda, sifat dan pekerjaan, berarti penguasaan terhadap rumusan-rumusan dan tanda-tanda dari segala bentuk dan jenis kehidupan. Inilah yang pertama kali diajarkan Allah kepada manusia pertama “Dan Dia telah mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya”. (QS.2:31).

 

Kedua: Proses penyucian (Purifikasi). Langkah ini jarang ditemukan dalam proses pembelajaran dalam sistem pendidikan selain Islam. Padahal proses pembersihan yang diisyaratkan dalam ungkapan ayat “dan membersihkan kamu” ini sangat diperlukan dalam menetralisir pemikiran, perasaan dan moral dari muatan-muatan negatif yang akan mengganggu dan merusak jaringan hidup manusia. Dengan demikian maka potensi-potensi manusia akan teroptimasi ke arah dan tujuan yang lebih efektif dan efisien. Karena pemikiran, perasaan dan prilaku yang sia-sia dan negatif seringkali mengacaukan aktifitas fikir, rasa dan aksi seseorang yang lebih jauh lagi akan membawa kepada cacat kepribadiannya. Namun demikian langkah ini tidak berarti bahwa seseorang tidak perlu memahami hal-hal negatif atau buruk. Justeru proses ini mendorong agar seseorang   mengetahuinya agar ia terhindar dari bahaya keburukan itu.

 

Ke tiga: Proses pengajaran (Penguasaan Epistemologi dan Methodologi Ilmu Pengetahuan “sciences” dan Kebijaksanaan “wisdom”).   Penguasaan bidang-bidang ini merupakan langkah jauh dari proses pembentukan generasi manusia agar lebih siap dalam menghadapi dan menjalani kehidupannya. Memahami ilmu tentang asal-usul (epistemolosi) Ilmu Pengetahuan diperlukan untuk mengetahui sources “sumber-umber” murni dan dapat dipertanggungjawabkan sisi keilmiahan dan argumen-argumen yang mendukungnya. Dan penguasaan methodologi Ilmu diperlukan dalam upaya memahami cara bagaimana ilmu pengetahuan itu dirumuskan menjadi formula kehidupan yang dapat dipelajari dan diterapkan.

 

Ungkapan “dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan al-Hikmah” menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran harus memperhatikan penguasaan kedua sisi ini. Al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) merupakan sumber dan asal usul ilmu pengetahuan yang membekali seseorang dalam proses berfikir secara deduktif dan induktif. Di samping mengajarkan methodologi (bagaimana cara) ilmu pengetahuan itu diperoleh. Sementara ilmu Pengetahuan lain seperti Sejarah, terutama sirah nabawiyyah (sejarah hidup Rasulullah, shallallahu alaihi wa sallam), yang juga termasuk dalam kedua sumber di atas, menggambarkan bagaimana suatu ilmu itu diterapkan dalam kehidupan yang kongkret dan lebih pragmatis.

 

Ke empat: Proses Penguasaan Informasi dan Masalah-masalah Baru dan Dinamis. Ini diisyaratkan dalam ungkapan “dan mengajakan kepadamu apa-apa yang belum pernah kamu ketahui”. Proses ini merupakan langkah antisipatif terhadap masa depan dan dinamika kehidupan yang terus berkembang. Penguasaan informasi masalah-masalah yang belum pernah diketahui terutama oleh bangsa lain adalah cara terbaik dalam mengungguli dan mendahului seseorang dan bangsa tersebut sehingga siap berkompetisi dalam meraih peluang masa depan. Oleh karena itu dukungan dan pengembangan ilmu pengetahuan lain warisan pengalaman seseorang atau suatu bangsa mendapat perhatian dalam proses pendidikan Islam. Karena “Al-Hikmah (wisdom) adalah sesuatu yang hilang dari seorang mu’min. Kapan dan di mana saja ia menemukannya maka ia lebih berhak mengambilnya.” (al-Hadits). Dengan demikian kriteria “hamba-hamba Allah yang sholeh” pewaris bumi ini (QS. 21:105) dapat terpenuhi oleh generasi qur’ani.

 
 
Menuju Pembentukan Masyarakat Madani.
 

Masih mengacu kepada sejarah Masyarakat Madinah di atas, SDM dengan kualitas tersebut dapat diintegrasikan dengan suatu sistem dan mekanisme terbentuknya sebuah masyarakat Madinah. Proses pengintegrasian ini dibimbing langsung oleh Allah dengan suatu gaideline yang tersurat dalam keseluruhan surah al-Baqarah. Di mana esensinya terpusat pada paradigma terbentuknya ummatan wasatha dengan tahapan proses sebagai berikut:

 
  1. Kesatuan pemikiran, orientasi dan visi sebagai ikatan dasar konsolidasi dan institusi. Lihat ayat; 142-146, 168-150).
  2. Kemurnian referensi sebagai dasar terbentuknya konstitusi, hukum dan etika. Lihat ayat; 147.
  3. Kesiapan kompetensi sebagai dasar persaingan di tataran aksi. Lihat ayat; 148.
 

Semua tahapan proses ini dilakukan dengan dua pendekatan:

 

Petama: pendekatan kultural yang berorientasi membentuk kesadaran dan habit (kebiasan) hidup yang selalu interaktif dan kondusif dengan Islam. Di tataran individu pendekatan ini lebih difokuskan pada terbentuknya kepribadian Islami (Syakhshiah Islamiyyah), sedangkan di tataran masyarakat dan negara diorientasikan ke arah terbentuknya peradaban Islam (Hadlarah Islamiyyah). Pendekatan ini bertujuan untuk menampilkan pesan Islam sebagai konsep yang diakui secara argumentatif dan dirasakan sentuhannya sebagai rahmatan lil`alamin.

 

Ke dua: pendekatan struktural yang berorientasi membentuk sebuah masyarakat yang terstruktur dengan sebuah otoritas dan konstitusi yang lebih berdaulat. Dalam proses selanjutnya masyarakat ini diarahkan kepada sistem yang lebih mandiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan terbentuknya Khilafah Islamiyyah. Pendekatan ini juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari berbagai pengaruh ancaman dan bahaya yang akan menodai kehormatannya dan meruntuhkan eksistensinya baik secara internal maupun eksternal. 

 
Penutup:
 

Inilah gambaran kongkrit eksistensi masyarakat madani, kepentingan dan proses pembentukannya sebagai alternatif pengembangan sumber daya manusia ummat ini. Langkah dan proses di atas dapat juga difungsikan untuk mengukur dan mendiagnosa kegagalan proses dan produk pendidikan di kalangan Ummat Islam selama ini. Sekaligus sebagai solusi terhadap kegagalan tersebut dan memulai kembali proses alternatif untuk meraih sukses pembentukan generasi qur’ani sebagai pemasok kebutuhan ummat terhadap SDM unggulan.

 

Semoga Allah senantiasa menjaga kesadaran dan kesabaran kita terhadap aalternatif lahirnya generasi dan masyarakat ini. Dan semoga selalu memberikan bimbingan dan kekuatan-Nya dalam meraih keberhasilan yang sedang dinanti oleh tidak hanya ummat ini tetapi juga seluruh bangsa di dunia. Karena visi dan misi generasi qur’ani tidak untuk kepentingan ummat Islam semata melainkan demi kepentingan yang dirindukan semesta alam (Rahmatan lil ‘alamin).

 
 
Bonn, 1 Agustus, 1998.
 
Amang Syafrudin, ZM.

Selamat datang di situs kami

Yayasan Islam Al-Qudwah

Jl. Beringin, no.1. Margonda Raya,
Depok, Jawa Barat,
Indonesia 16423
AQIBS menerima siswa baru untuk tahun ajaran 2008-2009.

Segera berinvestasi bagi masa depan anak Anda. Hanya tersedia untuk 24 siswa.

Daftarkan segera.
Masjid adalah pusat pembelajaran yang paling efektif. Dengan nuansa kesucian dan kebersihan suasana belajar menjadi lebih optimal
Madani Media Center (MMC)

Adalah institusi yang didedikasikan untuk mengembangkan konsep, sistem, dan jaringan media; baik cetak maupun elektronik.

Madani Broadcasting Center (MBC) merupakan pusat pengembangan dan pelatihan penyiaran yang didesain sebagai jembatan komunikasi dan informasi yang edukatif.

Melalui lembaga ini, para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswi yang berada di lingkungan atau di bawah naungan Yayasan Islam al-Qudwah dipersiapkan menjadi kader media yang memiliki visi, misi, dan kepribadian madani yang Islami.

FM Madani, yang dipancarkan pada gelombang 107.70 FM merupakan radio komunitas sebagai salah satu langkah awal membangun dan mengembangkan komunitas masyarakat cinta media edukatif.
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free